Soedirman
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Sudirman" beralih ke halaman
ini. Untuk tokoh lainnya, lihat Sudirman
(disambiguasi).
Raden
Soedirman |
|
Presiden
|
|
Pengganti
|
|
Informasi pribadi
|
|
Lahir
|
|
Meninggal dunia
|
|
Makam
|
|
Penghargaan sipil
|
|
Tanda tangan
|
|
Dinas militer
|
|
Pihak
|
|
Dinas/cabang
|
|
Masa dinas
|
1944–1950
|
Pangkat
|
|
Komando
|
|
Pertempuran/perang
|
Jenderal
Besar Raden Soedirman
(EYD: Sudirman; lahir 24 Januari 1916 – meninggal
29
Januari 1950 pada umur 34
tahun[a]) adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional
Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional
Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia.
Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia
Belanda, Soedirman
diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi
seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk
mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman
mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati
oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah
keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi
kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan
Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada
tahun 1937. Setelah Jepang
menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada
tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang,
menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama
rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk
bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan
untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah
mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat.
Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima
sementara Oerip Soemohardjo,
dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November
1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima
besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir,
menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan
serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri
tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman,
dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember.
Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan
tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama
adalah Perjanjian Linggarjati –yang
turut disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang
menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan
35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk
upaya kudeta pada 1948.
Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut,
paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19
Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda
melancarkan Agresi Militer II
untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan,
Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan
perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka
diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur
dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu
mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1
Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri,
Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin
terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh
Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke
Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Kematian
Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang
dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara
pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan
gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan
rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mi) yang ditempuhnya harus
diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang
kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan
menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia.
Kehidupan awal
Soedirman lahir dari pasangan Karsid
Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang
bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga,
Hindia Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.[b][c][1][2]
Menurut catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir
pada Minggu pon di bulan Maulud dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916
sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang
lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar
kebangsawanan pada suku Jawa.[1]
Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai
ia berusia 18 tahun.[3]
Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman ikut dengan
keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.[1]
Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad
Samingan. Karsid meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem
menitipkan kedua putranya pada saudara iparnya dan kembali ke kampung
halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.[1][4][5]
Soedirman dibesarkan dengan
cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi,[6] serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik,
atau rakyat jelata.[7]
Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman adalah anak yang
taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat.[8]
Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch
inlandsche school).[6][9]
Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama
menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak mengumpulkan banyak kekayaan, dan di
Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit Singer.[4]
Pada tahun kelimanya bersekolah,
Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang
diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d]
permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah
milik Taman Siswa pada tahun ketujuh sekolah.[6][9][10]
Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo[e] setelah sekolah Taman Siswa ditutup
oleh Ordonansi Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar.[10][11][12]
Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia,
yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.[11]
Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono
menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua di saat
kelas masih mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa,
Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis,
baik bahasa Belanda maupun Indonesia.[13] Soedirman juga menjadi semakin taat
agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya
memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam beribadah, dan Soedirman
juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.[14]
Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok
musik sekolah dan bergabung dengan tim sepak bola
sebagai bek.[15]
Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin,
namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia
lulus pada akhir tahun.[14][16]
Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya
untuk mempelajari Sunnah dan doa.[17]
Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.[11]
Saat bersekolah di Wirotomo,
Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok
musik.[18] Ia membantu mendirikan cabang Hizboel
Wathan, sebuah organisasi Kepanduan
Putra milik Muhammadiyah.
Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari
Wirotomo;[19][20]
tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman
menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap
harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa.[21] Ia mengajari para anggota muda Hizboel
Wathan[f] tentang sejarah Islam dan pentingnya
moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin
militer.[22]
Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo,
Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool
(sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta,
tetapi berhenti karena kekurangan biaya.[23]
Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar
Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang
sama, Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang
pengusaha batik
kaya bernama Raden Sastroatmojo.[24][25]
Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya di Cilacap agar ia bisa
menabung untuk membangun rumah sendiri.[24]
Pasangan ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad
Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi
Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.[25][26]
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan
murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang
tradisional.[24] Salah seorang muridnya menyatakan
bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan mencampurkan humor
dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di kalangan
muridnya.[27]
Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam
beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak
memiliki ijazah guru.[28] Sebagai hasilnya, gaji bulanannya
meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah,
Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan
tengah di antara guru yang berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa
Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis.[29] Ia juga aktif dalam kegiatan
penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk
pembangunan lainnya.[30]
Selama waktu-waktu ini, Soedirman
juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok
ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk
memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah
di masjid setempat.[31]
Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan
Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan
dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia
kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah[24][32]
dan menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan
berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri.[33]
Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar